Silahkan Melihat Karya-Karya yang Ada Pada Kami

Senin, 21 September 2009

Kisah Sebuah Pejuangan

Sekitar lima menit lagi segala perjuangan keluarga untuk menjadikan Andi seorang sarjana akan terwujud. Andi sangat senang karena berhasil lulus kuliah dan mendapat nilai tertinggi dibandingkan semua teman-teman seangkatannya. Keluarga sangat terharu saat tali toga yang dikenakan Andi dimiringkan ke kiri oleh dosennya sebagai tanda kelulusannya. “Saya sangat terharu Pak! Saya tidak menyangka tukang kue seperti saya bisa menyekolahkan anak sampai sarjana.”ungkap ibu dari Andi dengan penuh rasa bangga. “Saya juga Bu! Tidak disangka tukang becak seperti saya berhasil menyekolahkan anak sampai S1!”jawab suami dari wanita paruh baya yang sudah penuh uban di kepalanya itu. Semua rangkaian acara dilalui Andi sekeluarga dengan penuh kebahagiaan dan kebanggaan.


Saat di bus, ketika ingin pulang ke rumah, ayah, ibu, dan Sinta (adik perempuan Andi) tidak henti-hentinya mengucapkan selamat kepadanya. “Lalu bagaimana rencana kakak setelah ini?” tanya adik prempuan Andi. Andi menghela nafas sesaat dan berkata,”Sebenarnya sudah ada perusahaan berskala internasional yang menawarkan pekerjaan kepada kakak dan meminta kakak untuk dating bekerja mulai besok pagi, menurut Ayah, Ibu, dan kamu Sinta, apakah saya harus menerimanya?”dengan cepat Sinta menjawab,”Terima saja Kak! Rezeki jangan ditolak!”ayah pun menjawab,”Kalau menurut Ayah, terima saja asal itu cocok dengan kamu, rezeki jangan ditolak.” Dengan bijaksana ibu juga turut membenarkan perkataan suaminya,”Benar, terima saja kalau itu sesuai dengan apa yang menurut kamu baik.”Andi pun Menjawab,”Baik, kalau begitu akan saya terima.”


“Terima kasih Saudara Andi karena Anda mau bekerja di perusahaan ini. Saya sudah melihat segala prestasi yang Anda miliki selama jenjang kuliah, sehingga tidak perlu lagi saya ragukan kemampuan dan bakat yang Anda miliki. Anda akan saya tempatkan di bagian Marketting sebagai Manager dan tentunya segala fasilitas seperti rumah, mobil, apartemen akan diberikan sebagai penunjang pekerjaan Anda.”sambut salah satu direktur utama yang menerima Andi untuk bekerja di perusahaannya itu. “Terima kasih kembali Pak! Kalau boleh tahu, kapan saya mulai bisa bekerja?”tanya Andi dengan penuh rasa senang dan bahagia. “Mulai hari ini juga bisa langsung dimulai, saya sangat mengharapkan yang terbaik dari Saudara Andi untuk perusahaan ini.” jawab lelaki yang sudah cukup tua namun sangat berkharisma itu. Andi sangat bahagia dan tidak sabar untuk bercerita kepada keluarganya di rumah, “Terima kasih sekali lagi Pak Hendri, saya akan mulai langsung bekerja sekarang, selamat pagi!” Pak Hendri menjawab,”Selamat pagi Saudara Andi!”Andi pun keluar dari ruangan yang sangat luas dan nyaman itu dengan sangat senang dan penasaran ingin merasakan bagaimana suasana bekerja di kantor.


“Tapi bagaimanapun saya harus pergi ke sana karena ini proyek yang sangat besar dan tidak boleh dilewatkan hanya karena masalah sepele seperti itu! Nanti saya akan membelikan oleh-oleh kepada Ibu sebagai hadiah ulang tahun Ibu!” kata Andi kepada ibunya. “Tapi Kak Andi tidak boleh seperti itu! Kakak harusnya tidak boleh lebih mengutamakan pekerjaan dibandingkan Ibu!”sahut Sinta. “Tapi mau bagaimana lagi? Ini proyek yang sangat besar dan kalau sampai berhasil akan mendatangkan keuntungan yang sangat besar bagi perusahaan kakak!”sahut Andi lebih keras kepada adiknya itu. ”Ya sudah kalau begitu Ibu tidak apa-apa kok, kamu urus saja pekerjaan kamu dulu, Di.”jawab ibu.


Akhirnya Andi pun pergi ke negeri Paman Sam yang tersohor itu untuk menjalankan bisnisnya yang kian hari kian besar saja. “Thank you Mr. Jefferson for your agreement, I will very happy have a business partner like you, ok now I will go to my office for set anything, good afternoon!”kata Andi untuk menyelesaikan presentasinya di hadapan rekan bisnisnya yang ada di Amerika Serikat. Sesampainya Andi di apartemen nya yang ada di pusat kota negeri adidaya itu dia langsung menyalakan laptop dan mengakses internet untuk melihat keadaan saham yang dimilikinya di bursa perdagangan Indonesia, dan dia sangat senang karena sahamnya naik beberapa persen dan dia tentu akan mendapatkan keuntugan yang sangat besar dari kenaikan sahamnya itu. Dia langsung mendapat telepon dari salah seorang asisten yang membantunya dalam hal mengurusi saham-saham yang dia miliki dan memberitahunya bahwa dia akan mendapat keuntungan sekitar 12-15 miliar rupiah akibat kenaikan sahamnya itu. Andi sangat senang dan berniat untuk mengembangkan sayap perusahaan yang telah menadi miliknya itu akibat usaha kerasnya itu dalam hal komunikasi di Indonesia yaitu di bidang pertelevisian dengan membangun sebuah stasiun televisi. Dia mulai membicarakan hal ini dengan asistennya yang lain yang berkaitan dengan hal ini. “Saya sangat setuju dengan rencana Bapak karena menurut saya jaringan televise ini sangat memberi keuntungan yang besar dan Anda akan cepat balik modal.”kata asistennya itu lewat telepon. “Saya juga berpendapat seperti itu karena sudah banyak orang yang membangun stasiun televisi dan usahanya semakin maju, mjadi saya berminat untuk membangn sebuah stasiun televisi.”jawab Andi. Andi mulai menghubungi satu persatu rekan bisnisnya untuk membantunya dalam mengembangkan salah satu dari proyek barunya itu.


“Bagaimana Pak John? Apakah Anda setuju bekerja sama dengan perusahaan kami?”tanya Andi kepada salah satu rekan bisnisnya yang ada di Indonesia melalui telepon genggamnya. “Baik Pak Andi saya sangat setuju dan senang bekerja sama dengan perusahaan bonavit seperti perusahaan Pak Andi, seminggu lagi saya akan dating ke kantor Anda untuk menandatangani kontrak kerjasama itu.”jawab rekan bisnisnya itu.” Terima sekali Pak John saya akan sangat senang dapat bekerja sama dengan Anda, kalu begitu sekian dulu nanti akan saya hubungi lagi, selamat siang, terima kasih.”jawab Pak John,”Terima kasih kembali Pak Andi.”


“Kak Andi sudah lupa dengan keluarganya sendiri! Dia lebih mementingkan pekerjaan daripada keluarganya sendiri!”marah Sinta di hadapan orangtuanya. “Padahal inikan hhari ulang tahun Ibu, tapi dia malah sibuk dengan urusan bisnisnya itu!”lanjut Sinta. “Kamu tidak boleh berkata seperti itu kepada Kakak kamu Sinta, Dia seperti itu untuk membiayai kita semua.”ibu memberi nasihat kepada Sinta yang sedang marah kepada Andi.”Tapi dia tidak boleh seperti itu keadaan keluarganya sendiri, harusnya dia lebih mementingkan keluarganya dibandingkan pekerjaannya, dia mementingkan pekerjaan bahkan sampai tidak peduli terhadap hari ulang tahun Ibu yang tinggal dua hari lagi!”marah Sinta. ”Sudahlah Sin, jangan seperti itu, mungkin Kak Andi sedang benar-benar sibuk dengan pekerjaannya. Lebih baik sekarang kita siap-siap untuk pesta ulang tahun Ibu.”kata ayah sambil menasihati Sinta. Lalu mereka sekeluarga pun pergi ke supermarket dekat rumah untuk membeli segala keperluan pesta ulang tahun ibu yang rencananya diadakan secara sederhana. Mereka pun belanja segala keperluan dengan perasaan senang tidak sabar menunggu hari ulang tahun ibunya. Mereka membeli makanan, minuman ringan, dan beberapa kue-kue kecil, dan juga mereka membeli kue ulang tahun yang besar.”Kue ini sepertinya bagus dan enak rasanya beli yang ini saja Bu.”Sinta berpendapat. “Sudahlah jangan beli kue yang mahal seperti itu, buang-buang uang saja, kita rayakan secara sederhana saja, jangan boros-boros lah, Kak Andi susah payah mencari uang masa kita menghambur-hamburkan begitu saja.”ibu memberi nasihat. “Tidak apa-apa Bu, sekali-kali kta harus merayakan karena Tuhan masih memberikan umur panjang kepada kita dan yang paling penting kita merayakan ulang tahun ini dengan niat bersyukur bukan dengan niat berfoya-foya.”ungkap ayah dengan bijaksana. “Benar Bu, kita harus merayakannya, lagipula ini hanya setahun sekali.”tambah Sinta. Akhirnya ibu pun mau membeli kue ulang tahun itu dan setelah itu mereka pulang dengan perasaan yang senang dan penuh rasa syukur.


“Ok Mr.Steve I will call you later about this project, I hope you will accept my contract, Good Afternoon.”kata Andi kepada rekan bisnisnya yang ada di Amerika. “Hari masih siang dan saya masih mempunyai beberapa pekerjaan yang masih harus saya selesaikan mengenai proyek pembangunan stasiun televisi yang sudah saya rencanakan sebelumnya. Kalau begitu ayo kita ke kantor salah satu rekan saya yang di New York untuk membicarakan tentang segala peralatan yang diperlukan untuk membangun stasiun televisi.”kata Andi kepada asistennya yang ada di sebelahnya waktu itu karena sedang meminta tanda tangan proyek lain lagi, dan kebetulan asistennya itu orang Indonesia. ”Baik Pak, segalanya akan saya siapkan.”jawab asistennya itu. Setelah semua urusan di sana selesai mereka pun pulang ke apartemen masing-masing yang sudah disediakan oleh pihak kantor. Keesokan harinya atau tepat satu hari sebelum hari ulang tahun ibunya, Andi masih saja sibuk dengan bisnisnya itu. “Ayo kita ke Mr.Walter untuk membicarakan mengenai rapat yang belum selesai kemarin.”perintah Andi kepada asistennya. Setelah itu mereka langsung pergi ke tempat yang telah disepakati dan melangsungkan rapat sampai kurang lebih 3 jam. Setelah rapat iitu selesai, mereka langsung pergi ke sebuah gedung pemancar televisi untuk mempelajari bagaimana sebaiknya sebuah stasiun televisi dibuat dan dirancang. Mereka menghabiskan waktu 3 jam lebih untuk mengamati berbagai hal yang ada di stasiun televise itu, maklum saja karena stasiun televisi itu merupakan salah satu yang terbaik di amerika. Setelah dari sana mereka langsung pulang menuju ke apartemen masing-masing, tetapi di tengah perjalanan, ada telepon dari adik asistennya yang mengatakan ibu asistennya itu telah meninggal tiba-tiba tanpa alasan yang jelas, asistennya itu sangat kaget dan tidak percaya, karena tadi pagi dia masih sempat ngobrol dengan ibunya dan berjanji untuk pulang membelikan oleh-oleh. Asistennya itu pun langsung meminta izin pulang ke Indonesia sore itu juga kepada Andi, dan tentunya Andi mengizinkannya.


Saat tiba di apartemennya Andi teringat segala hal tentang ibunya dulu. Dia berpikir bahwa ibu, ayah dan Sinta telah banyak berkorban baginya, terutama ibunya yang rela berjualan kue keliling setiap hari hanya untuk membiayainya sekolah sampai sarjana, ibunya setiap hari bangun pagi-pagi sekali sekitar pukul 03.00 untuk membuat kue yang pastel, lumpia, risol, yang kemudian akan dijajakan keliling kampong, walau harus menahan rasa lelah dan malu tetapi dia tetap melakukannya dengan ikhlas. Bapaknya juga sangat bersusah payah mencari nafkah dengan keluarganya, Andi masih ingat waktu itu dia masih kelas 3 smp, ayahnya sedang sakit parah dan hari sedang sangat panas, tetapi dia tetap rela menarik becaknya itu untuk mencari uang untuk keluarganya. Sinta juga telah banyak berkorban untuknya, waktu itu Sinta bersusah payah mengumpulkan uang untuk membeli sepeda supaya bisa pergi ke sekolah dengan lebih mudah, maklum saja rumah mereka di kampung, jadi untuk pergi ke sekolah perlu waktu yang lama dan tenaga yang banyak, jadi sepeda itu sangat diperlukan Sinta, tetapi karena pada waktu itu ada buku yang harus dibeli Andi, Sinta merelakan uangnya untuk dipakai oleh Andi dan dia rela tetap berjalan kaki ke sekolahnya yang jauh itu. Dia sangat sedih mengingat semua perlakuannya kepada keluarganya itu, padahal keluarganya sudah sangat banyak berkorban baginya. Dia merasa sangat berdosa karena telah menelantarkan keluarganya hanya karena urusan pekerjaan duniawi, oleh karena itu dia pun berniat untuk mempercepat kepulangannya ke Indonesia yang tadinya seminggu lagi menjadi besok pagi. Saat sedang istirahat dan merenungi semua kesalahannya itu, ada telepon dari Indonesia yang suara penelponnya dikenali oleh Andi, dan itu ternyata adalah Sinta yang sedang menangis. “Kak, Ibu terluka parah karena tertabrak mobil ketika ingin pulang ke rumah dari supermarket sehabis belanja keperluan untuk ulang tahunnya. Hik.hik.hik…. Bagaimana ini Kak? Kakak bisa pulang tidak?”ungkap Sinta kepada Andi melalui telepon dengan penuh kepanikan. “Apa?!?! Lalu bagaimana keadaan Ibu? Apa dia sudah membaik? Bagaiman kata dokter?”tanya andi dengan perasaan yang sangat cemas. Tiba-tiba teleponnya terputus dan ketika Andi mencoba menghubungi lagi sama sekali tidak tesambung. Andi menjadi sangat cemas dan merasa bersalah, dia berpikir bahwa semua itu terjadi karena kesalahannya. Dia seketika itu juga langsung berlari keluar apartemennya dan mengendarai mobil ke bandara untuk pulang ke Indonesia hari itu juga.
Di pesawat, dia sangat khawatir dan sangat cemas, dia takut kalau-kalau terjadi sesuatu kepada ibunya dan apalagi kalau sampai ibunya meninggal. Andi berpikir bahwa dia tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri kalau sampai ibunya meninggal. Selama di pesawat dia terus-menerus memikirkan ibunya sampai-sampai dia tertidur karena kelelahan. “Kenapa ini? Kenapa semua memakai baju hitam dan terdengar suara tangisan yang sangat menyakitkan telinga?”tanya Andi dalam hatinya. “Kak Andi kenapa terlambat datang! Bahkan sampai ke pemakaman Ibu pun Kakak terlambat datang! Kakak benar-benar tidak punya hati! Sesaat sebelum Ibu pergi, Ibu terus-menerus memanggil nama Kakak, dia sangat rindu kepada Kakak, tetapi datang saja Kakak tidak mau!” seru Sinta sambil menangis terisak-isak di depan batu nisan ibunya. “Maafkan Kakak, Kakak benar-benar menyesal atas semuanya itu, kalau tahu begini saya tidak akan pernah meninggalkan Ibu. Ibu!!!! Hikhikhik…….”teriak Andi sambil menangis sekencang-kencangnya.. Dan tiba-tiba Andi terbangun dari tidurnya, dia sangat senang karena itu semua hanyalah mimpi. Ternyata karena terlalu lelah, dia tak sadar bahwa dia telah tertidur selama 15 jam lebih bahkan sampai pesawat yang ditumpanginya sudah hamper tiba di bandara Soekarno-Hatta. “Bagi semua penumpang, harap mengenakan sabuk keselamatan karena sebentar lagi pesawat akan segera mendarat.”pramugari memberi tahu para penumpang yang ada di pesawat itu.


Seturunnya dari pesawat, Andi langsung naik ke taksi yang sudah menunggu penumpang di depan bandara. Setibanya di depan gang rumahnya, terdapat bendera kuning yang digantung menandakan ada yang meninggal di sekitar komplek itu. Hati Andi semakin cemas saja karena melihat hal itu. Ketika turun di rumahnya Andi melihat rumahnya kosong tanpa ada seorang pun yang menjaga. Andi sangat bingung dan berusaha mencari tahu ke tetangganya dan kemudian tetangganya mengatakan bahwa ibunya kemarin dibawa ke rumah sakit karena tertabrak mobil, tetapi dia kurang tahu benar oleh karena tetangganya itu ada keperluan mendadak yang tidak bisa ditinggalkannya, jadi dia terpaksa pergi meninggalkan ibunya setelah mengantar ke rumah sakit bersama keluarganya. Setelah menanyakan dimana rumah sakit tempat ibunya dirawat, Andi langsung pergi naik taksi tadi menuju ke rumah sakit itu. Setibanya di rumah sakit itu, dia langsung mencari kamar 302 tempat ibunya dirawat yang diketahuinya dari resepsionis rumah sakit itu. Tetapi setelah tiba di ruangan itu, ,dia hanya mendapati ruangan kosong tanpa pasien. Dia sangat kaget, dalam hatinya dia berpikir apakah ibunya telah meninggal sehingga ruangan itu dikosongkan. Dia sangat kebingungan karena semua dokter dan suster yang dia tanyakan tidak tahu dimana ibunya. Akhirnya dia memutuskan untuk mencari ke semua tempat, dan setelah sangat lelah, dia pun tanpa sadar bilang kepada supir taksi yang dari tadi menemaninya mencari ibunya itu untuk pulang ke rumahnya. Setibanya di rumah Andi hanya mendapati rumah yang sangat besar, luas, dan juga gelap tanpa satupun penghuni. Andi sudah mulai putus asa, dia hanya duduk di depan teras rumahnya yang sangat besar itu, merenungi nasib keluarganya yang sekarang tidak dia ketahui itu. Sampai suatu ketika ada seorang tetangganya yang mengatakan keluarga Andi mengatakan kepadanya akan pulang ke rumahnya yang dulu di kampung. Andi seketika itu juga langsung naik taksi yang dari tadi masih setia menemaninya itu ke rumah mereka yang dulu yang ada di kampung.


“Ibu, Ayah, Sinta, apa kalian ada di dalam?”teriak Andi sambil masuk ke dalam rumah tua itu. Dia mencari apakah ada orang di rumah itu, dan yang dia dapati hanyalah rumah tua yang kosong. Andi berpikir apakah dia telah dibohongi oleh tetangganya itu atau tidak. Andi sudah sangat putus asa. “Tenang Pak, jangan khawatir, pasti mereka baik-baik saja.”supir taksi tadi mencoba menenangkan Andi yang sedang benar-benar panik. Andi mecoba bertanya kepada semua tetangganya yang ada di sana, tetapi tidak ada yang mengetahui keberadaan keluarganya. “Saya sudah tidak pernah melihat keluargamu Andi sejak kalian semua pindah dari kampung ini ke kota.” kata seorang tetangganya di kampung itu. Andi sudah sangat bingung dan tidak tahu harus berbuat apa lagi. Namun, di saat puncak keputusasaannya, Andi merasa dipanggil oleh seseorang di belakangnya. “Di, kamu sudah pulang rupanya.”Andi sangat kaget mendengar suara itu. Dan sesaat dia sadar bahwa dia sangat mengenali suara itu, dan itu ternyata adalah suara ibunya. Andi bukan main senangnya, dia tidak henti-hentinya meminta maaf kepada ibu, bapak, dan Sinta karena telah tidak peduli kepada mereka dan lebih mementingkan pekerjaannya daripada keluarganya. “Kakak benar-benar meminta maaf kepada kalian semua, karena selama ini Kakak tidak memperhatikan kalian semua dengan baik, saya sibuk dengan pekerjaan saya sendiri, saya benar-benar menyesal, maafkan saya……..”ungkap Andi di depan keluarganya. “Sudahlah Andi jangan dipikirkan lagi, semua sudah Ibu lupakan, kamu tidak perlu merasa bersalah seperti itu.”ibu menanggapi dengan penuh kebijaksanaan. “Iya Andi kamu tidak perlu seperti itu, kami sekeluarga sangat menyayangimu apapun yang terjadi kepadamu.”tambah ayah. “Betul Kak, kami akan tetap sayang kepada Kakak apapun yang Kakak lakukan.”lanjut Sinta. “Terima kasih ya, kalian semua mau memaafkan saya. Ngomong-ngomong apa Ibu sudah sembuh dari sakit, kata Sinta Ibu terluka parah karena tertabrak mobil saat pulang dari supermarket, tadi saya cari ke rumah sakit, Ibu tidak ada”tanya Andi penasaran. “Iya ibumu memang sakit tetapi tidak terlalu parah, Sinta tidak melihat secara langsung jadi dia tidak tahu kejadiannya, waktu itu Ibu terserempet mobil saat ingin menyeberang jalan dengan Bapak, karena Bapak sangat panik, Bapak langsung membawa Ibu ke rumah sakit, dan Sinta langsung menelpon kamu. Dan disaat seperti itu adikmu ceroboh menjatuhkan handphonenya di kolam rumah sakit itu.”bapak mencoba menjelaskan. “Oh begitu ceritanya, dasar kamu Sinta ceroboh sekali, hehehe…”Andi menanggapi. Akhirnya mereka semua masuk ke rumah dan merayakan ulang tahun ibu dengan sederhana namun hikmat. “Ini adalah hari ulang tahun yang paling membahagiakan dalam hidup Ibu.”kata ibu dengan penuh rasa kebahagiaan.


Setahun kemudian stasiun televisi yang Andi bangun sudah selesai dan akan diadakan pengenalan pertama dihadapan umum melalui para wartawan yang sudah diundang. “Tv keluarga ini saya persembahkan kepada keluarga saya yang sangat saya cintai, saya sangat berharap stasiun tv ini bisa mempererat hubungan semua keluarga yang ada di seluruh dunia.”ungkap Andi di pengenalan pertama stasiun tv nya itu. Saat melihat itu, hati keluarga Andi sangat senang dan merasakan bahwa keluarganya telah menjadi sebuah keluarga yang sangat bahagia seperti sebelumnya.






Oleh : SIR

Minggu, 20 September 2009

Sepatu

Hujan pertama akhirnya jatuh juga. Selepas musim kemarau yang terlampau panjang, hujan pertama selalu disambut di kampung kami dengan pesta.

Ketika hujan mulai menderas, anak-anak Kang Soleh kulihat segera berlarian keluar, bertelanjang dada. Teriakan-teriakan kegembiraan mereka, gemuruh curahan air dari langit dan gelegar petir, bercengkerama sahut menyahut di tegalan depan. Ketika hujan mereda, mereka pulang dengan bibir membiru dan badan menggigil bergetar. Tapi, mata mereka memancarkan kegembiraan.

Wa Sunta terlihat melintas di jalan desa menggiring dua ekor kerbau kurusnya. Ketiganya berjalan gontai, tak terlihat tergesa, dipeluk petir dan hujan. Gambar mereka melamat ketika menjauh. Hujan dan petir dengan akrab mengantar mereka hingga lenyap diterkam belokan.

Sejak masih gerimis, Anah, istriku, sudah membopong gentong-gentong air dari dapur, dengan sigap membawanya keluar. Anah berpesta dengan caranya sendiri. Pada tiap hujan pertama, ia selalu membersihkan gentonggentong air kami yang kerontang selama kemarau.

Aku sendiri, pada setiap hujan pertama seperti ini tak pernah lepas dari ritual pesta yang itu-itu juga. Duduk mencangkung di depan jendela depan. Membuka hidung lebar-lebar membaui tanah pelataran yang terperawani tetes demi tetes air hujan pembukaan. Menghanyutkan diri dalam aroma legit bau tanah tersiram air. Ah, Sembilan bulan sudah kurindukan bau ini.

Datangnya musim penghujan membuat kampong kami siuman dari mati suri panjang. Sejak sungai Cipamingkis ditambang batunya, digali pasirnya, dan akhirnya mati, sawah-sawah di kampong kami kehilangan tempat menyusu di musim kering. Semua sawah menjadi tadah hujan saja.Maka, kemarau adalah bencana. Berita duka yang tak sudi kami dengar tapi selalu saja tiba.

Di setiap kemarau, sawah-sawah mengering, merekah, retak terbelah-belah. Ketika kemarau berlarut-larut tak berujung, kampung kami kehilangan akal dan akhirnya hanya berpaling pada sebaris harapan: Semoga hujan bergegas datang dan membunuh kemarau laknat itu segera.

***

Bagi guru sepertiku, musim penghujan sebetulnya tak punya terlalu banyak arti. Bahkan, selalu saja ia menghadiahiku kerepotan-kerepotan baru. Setiap hari, pergi dari rumah ke SD Inpres di seberang bukit itu, aku mesti menggulung celana panjangku tinggi-tinggi, tak membiarkan lidah air berlumpur menjilat celanaku. Celana layak satu-satunya.

Kedua tanganku pun dibuat sibuk. Tangan kanan menjinjing tas. Tangan kiri, yang terbiasa menganggur, punya pekerjaan baru: menjinjing sandal. Aku, bak pemain sirkus, mesti menjaga keseimbangan di sepanjang pematang, bersiasat untuk tak tergelincir tercebur ke sawah berair berlumput-lumpur.

Kerepotanku tak usai di situ. Sebelum ke kelas atau ruang guru, aku tentu saja mesti ke parit di belakang gedung sekolah itu. Mencuci kaki. Menurunkan gulungan celana. Lalu menyematkan sandal ke kedua kakiku yang kuyup. Betapa merepotkannya jika aku bersepatu.

Ketika sol sepatuku, sepatu terakhirku, jebol di tengah kemarau tahun lalu, aku sempat meratapinya. Tapi, ketika musim penghujan seperti ini datang, segera kutahu bahwa barang mewah semacam itu kadang kala tak punya guna. Di pasar kecamatan, sepatu termurah saja harganya 20 ribu!

Bersepatu pergi pulang mengajar di musim penghujan seperti ini hanya membikin-bikin kerepotan yang tak perlu. Semacam kesia-siaan. Bahkan penyiksaan diri. Tentu cerita bisa berbeda jika saja ada sepeda. Pematang penuh jebakan lumpur itu bisa kuhindari dengan sedikit memutar menyusuri jalan desa.

Tapi, sejak kutahu bahwa sepeda bekas yang butut saja harganya lima puluh ribu perak, aku berhenti memikirkannya. Untungnya kepala sekolah tak mengharuskan guru honorer, guru bantu, sepertiku bersepatu. Akupun bisa mengajak sandal lili-ku bertemu 47 murid kelas enam yang bertumpuk di kelas paling ujung kiri itu. Setiap hari. Mereka benar-benar bertumpuk di ruang kelas darurat yang sempit itu.

Tapi bagiku, pintu kelas itu adalah celah menuju kebahagiaan. Memasukinya membuatku bertemu mata-mata yang haus dan berharap tetapi juga kuyu dihantam kemiskinan. Aku selalu bahagia setiap kali kekuyuan itu lenyap sesaat tertelan kegembiraan menemukan hal-hal baru dari pelajaran kelas. Dari hari ke hari.

Dari pukul 7:15 pagi hingga Dzuhur berlalu dan Asar hampir menjemput. Selalu saja terbit rasa senang melihat mata-mata itu menjadi sedikit berkilat setiap kali kukatakan, “Negara kita Indonesia, besok akan menjadi lebih baik jika kita warganya bisa memelihara nurani kita. Begitu juga Sukamanah, desa kita.” Kadang-kadang anak-anak itu merepotkanku dengan pertanyaan mereka. Mereka kudorong agar tak berpuas diri sekadar lulus SD dan lanjut bersekolah ke SMP di kota kecamatan. Hardi, salah seorang yang terpandai pun bertanya, mengutip kata-kata Ayahnya. “Untuk apa melanjutkan sekolah dan meninggalkan sawah-sawah kami? Bukankah sekolah tinggi hanya akan membikin kami membenci sawah tapi juga tak menyediakan pekerjaan lain, lalu membikin kita hanya bisa luntang-lantung menyusahkan orang tua seperti anak-anak kepala dusun itu?”

Maka akupun menjawabnya. “Bersekolah bukanlah untuk mencari pekerjaan, apalagi membenci sawah. Kita bisa bersekolah tinggi sambil tetap mencintai kampung kita, sawah-sawah kita. Bersekolah itu untuk membuat kita tak jadi orang-orang yang tak mengerti keindahan walaupun memiliki mata, tak mendengarkan kebaikan walaupun memiliki telinga, tak membela kebenaran walaupun memiliki hati, tak pernah terharu dan tak bersemangat.”

“Pak Sobarudin, bisa ke kantor saya sebentar?” Suara Pak Dudung, kepala sekolah, tiba-tiba menyeruput telingaku dari arah punggung.

“Ada undangan penting dari kabupaten,” katanya lagi, sebelum sempat kukeluarkan sepatah katapun.

“O ya…” Aku membuntutinya.

“Ini undangan untuk Pak Sobar. Semua guru honorer se-kecamatan dikumpulkan bertemu Bupati minggu depan.”

Aku segera membukanya. Beberapa kata segera berpindah dari kertas itu ke kepalaku. Minggu. 15 November. Siang. Aula Kecamatan. Bupati. Realisasi Perbaikan Nasib Guru Wiyata Bakti.

...Tapi bagiku, pintu kelas itu adalah celah menuju kebahagiaan...

***

Hari Minggu ini sebenarnya sama saja seperti hari-hari Minggu lainnya. Ia terasa berbeda hanya lantaran ini hari Minggu pertama di musim penghujan. Kampung kami menjadi lebih sibuk. Hampir semua rumah memboyong seluruh isinya ke sawah, memulai upacara hidup yang itu-itu juga. Bercocok tanam. Mengutang pupuk ke koperasi Desa. Memimpikan panen padahal sawah baru saja mulai digarap. Menghitung kerugian yang pasti dating karena ongkos bersawah selalu saja lebih tinggi dari harga jual padi. Menyisakan hasil panen untuk bertahan hidup ala kadarnya selama kemarau yang belum-belum sudah mengintip mengendap hendak kembali.

Siang ini aku harus ke kecamatan, berjalan kaki tiga kilo ke arah barat daya. Sedari pagi buta, ketika matahari masih terbungkus kabut, pasti sudah banyak orang mengepung kantor kecamatan, untuk melihat wajah Pak Bupati yang katanya masih muda dan rajin membagi senyum itu.

“Kang. Jangan lupa mampir ke rumah Bi Mumun.” Anah mengingatkanku ketika setengah badanku

sudah tertelan pintu, hendak pergi.

“Ya.”

Sepulang dari kecamatan Aku memang mesti mampir ke pabrik tempe milik istri almarhum pamanku itu. Menjemput kulit kacang kedelai. ...amplop itu tersedia, Pak Kakandep tentu akan segera mengurus kelulusanku...

Anah biasa mencampurnya dengan terigu, bawang putih, garam dan sedikit merica, lalu menyulapnya menjadi makanan penganan bahkan kadang-kadang lauk-pauk utama. Dan kami menyukainya. Apalagi jika tersedia juga cobek favorit kami. Cobek bohong. Penampilannya memang seperti cobek tapi sebetulnya bukan juga. Ia hanya kuah belaka, tanpa jengkol atau ikan lele, atau apapun. Di sana hanya ada cabe merah yang panjang menjuntai-juntai mengundang gigitan. Orang-orang di kampung kami pun menyebutnya cobek bohong. Menu semacam itu adalah kemewahan besar di rumah kami, apalagi di masa-masa darurat.

Tapi hidup kami selalu saja darurat. Selepas SPG, lima tahun lalu, tak ada pekerjaan menjemputku. Semestinya aku jadi guru SD. Tapi itulah. Setiap tahun, selalu saja kemestian itu terganjal ujian penerimaan guru. Aku tak pernah lulus. Bukan sulitnya soal ujian yang sebenarnya menjadi masalahku, tapi selalu saja aku tak mampu menyediakan amplop, dengan isi mesti di atas satu juta rupiah, untuk Kepala Kantor Departemen. Kalau saja amplop itu tersedia, Pak Kakandep tentu akan segera mengurus kelulusanku. Tapi, dari mana kudapat uang sebanyak itu? Melihatnya saja aku tak pernah.

Untungnya, tenagaku masih terpakai di kampung. Membantu Bi Mumun di pabrik tempe. Membantu panen Kang Soleh dan tetangga-tetangga dekat lainnya. Membantu menjagal sapi menjelang Hari Raya Kurban. Membantu mencukur rumput kuburan desa setiap menjelang bulan puasa. Mengambil air dari sumur tua yang tak pernah kering di balik bukit untuk kepala dusun, tiap kali kemarau menjadi-jadi. Mengecat dan membetulkan pagar masjid menjelang Lebaran.

Tenagaku tak selalu dihargai dengan uang. Kadang-kadang diganjar hasil cocok-tanam, padi, atau makanan. Tapi semuanya terasa sangat membantu. Adapun satu-satunya sumber penghasilan tetapku adalah honor sebagai guru wiyata bakti alias guru honorer atau guru Bantu itu. Besarnya 75 ribu setiap bulan. Uang itu jauh dari cukup dan selalu habis untuk melunasi utang-utang belanja dapur kami ke warung Ceu Nenden di pertigaan jalan desa itu.

Untungnya, jodohku adalah Anah yang tak pernah menuntut. Sejak kunikahi empat tahun lalu, tak sekalipun Anah mengeluhkan keadaan kami. Di tengah kesusahan yang terus menguntit kami, Anah selalu melayaniku dengan baik. Siang dan malam hari.

Anah lah yang justru mengajariku untuk selalu bersyukur atas apapun yang kami peroleh. Mengajari tetap bersyukur sekalipun sampai saat ini kami belum juga beroleh momongan. Kami tak pernah membebani Tuhan dengan macam-macam tuntutan. Cukup saja lah kami tahu bahwa Tuhan tak pernah tidur. Pertemuan di aula kecamatan hari ini sebetulnya bukan yang pertama. Dua tahun lalu, semua guru honorer juga pernah dikumpulkan. Di aula sama. Hanya saja, waktu itu kami tak seberuntung sekarang. Dulu, yang yang datang bukan Bupati tetapi Kakandep dari kabupaten.

Selepas pertemuan itu, rasa syukurku bertambahtambah. Sejumlah guru honorer tampaknya memang lebih beruntung dariku. Mereka bias menambah penghasilan dengan menarik ojek di pasar kecamatan. Ada juga yang membuka warung atau kios koran, komik-komik agama dan tekateki silang. Tapi jauh lebih banyak yang bernasib lebih buruk. Pak Kosim dari desa di ujung utara itu hanya digaji 25 ribu per bulan. Ibu Eti, guru di tetangga desaku, tak punya gaji sama sekali. Ia hanya bisa menunggu hadiah hasil panen dari wali murid di kelasnya. Padahal, panen sering diganggu hama. Pak Komarudin, yang ternyata hanya terpisah tiga kampung denganku, digaji 25 ribu ditambah uang BP3 sebesar 1.500 rupiah dari murid-murid di kelasnya. Muridnya hanya ada 12 orang. Miskin semua. Mereka lebih sering menunggak ketimbang melunasinya. Di pertemuan dua tahun lalu itu pula kukenal Pak Asep Saepudin yang kepandaian bicaranya mengingatkanku pada Kiai Ishak, khatib masjid kecamatan. Ia guru di kota kecamatan. Pendiri dan pemimpin Lembaga Swadaya Masyarakat Peduli Anak Bangsa (LSMPAB) yang katanya berusaha mengurusi nasib guru-guru bantu seperti kami. Dari Pak Asep pula aku tahu betapa pemerintah memang kekurangan guru SD dan membutuhkan kami. Propinsi kami saja, katanya, kekurangan 33.768 guru SD. Sebanyak 17.877 di antaranya adalah guru kelas. Maka, lagi-lagi menurut Pak Asep, jika guru-guru honorer di seluruh Jawa Barat berhenti, hampir 18 ribu kelas akan terlantar.

“Kami para guru honorer bukanlah orang-orang yang disumbang pemerintah. Kamilah yang membantu pemerintah menyelenggarakan pendidikan di tingkat dasar. Kalau tak ada kami, pemerintah kerepotan. Jadi, bukan kami yang harus berterima kasih, tetapi pemerintahlah yang semestinya berterima kasih dan memperbaiki nasib kami,” begitulah antara lain yang dikatakan Pak Asep di pertemuan itu. Hadirin bersorak bertepuk tangan. Wajah Pak Kakandep kulihat memerah delima.

Boleh jadi, suara Pak Asep sampai juga ke telinga Pak Bupati. Buktinya hari ini Pak Bupati datang dan akan mengurus “Perbaikan Nasib Guru Wiyata Bakti.” Seperti tertulis di undangan.

Benar saja. Kantor kecamatan seperti gula dikepung semut. Halaman luarnya disesaki orang-orang. Mereka benar-benar ingin melihat wajah Pak Bupati yang murah senyum itu rupanya.Setelah kulipat-lipat badan, menyusup di tengah orang-orang yang berkerumun sambil bertukar keringat dengan mereka, akhirnya sampai juga aku di depan aula itu. Kuacungkan kertasundangan memberi tahu bahwa aku guru honorer yang berhak masuk aula.

“Nah… ini ada satu lagi.” Seseorang yang berseragam coklat muda tiba-tiba setengah menghardikku sambil menunjuk-nunjuk ke arah sandal dan kakiku, membuatku bingung tak mengerti.

“Mari. Saudara harus duduk di ruang terpisah. Tidak di aula. Ini instruksi Bapak-Bapak di kantor kabupaten. Yang masuk aula harus pakai sepatu. Untuk menghormati Pak Bupati!” Aku mulai mengerti. Semacam amarah beranakpinak di dadaku. Tak boleh masuk aula hanya karena tak bersepatu? Apa yang salah dengan sandal lili yang baru kucuci tadi pagi ini? Sepatu? Menghormati Bupati?

Tapi mata tak bersahabat orang-orang berseragam coklat muda itu dengan cepat menggugurkan anak-pinak kemarahanku. Aku pun membuntuti mereka. Masuk ke ruang di sebelah aula. Di sana sudah ada beberapa puluh orang lainnya. Semuanya tak bersepatu. Moncong pengeras suara mengintip dari jendela, memelototi kami. Aku tak sendiri. Kutemukan juga beberapa wajah tak senang. Menahan marah.

Duh Anah…. Maafkan aku. Dari sini, aku tak bisa melihat wajah Pak Bupati. Aku tak bisa menjaga janjiku untuk sepulang nanti bercerita apakah benar Pak Bupati muda itu memang selalu tersenyum.

***

“Syukurlah Kang. Syukur.”

Hanya itu yang keluar dari mulut kecil Anah ketika kuceritakan apa yang kudengar dari Pak Bupati di pertemuan itu. Pak Bupati berjanji memperbaiki nasib guru-guru honorer di kecamatan kami yang ternyata jumlahnya makin banyak. Ratusan. Pak Bupati akan segera melakukan sesuatu. Bertahap. Sesuai kemampuan kabupaten. Untuk memperbaiki kesejahteraan guru-guru honorer.

Dimulai dari yang penting. Hampir setiap hari kampung kami diguyur hujan. Pematang sawah menuju sekolah itu pun makin menuntut ketrampilan-ketrampilan sirkusku. Sudah kubatalkan pula rencana memperbaiki sepatu jebolku ke pasar kecamatan. Sepasang sepatu, barang mewah yang tak berguna dan merepotkan itu, kini tercampak bersama timbunan sampah di kebun belakang. Tali keduanya saling terikat. Teronggok. Seperti sepasang anak kembar yang mati bunuh diri.

***

Dua minggu sudah pertemuan dengan Pak Bupati itu lewat. Hari ini, langit di atas kampung kami bolong. Air pun jatuh tercurah deras. Petir dan angin besar mengecewakan anak-anak Kang Soleh. Rengekan mereka untuk bermain bersama hujan, bertepuk sebelah tangan. Kulihat mereka duduk-duduk di beranda, memandangi hujan dengan penuh hasrat.

Satu sosok muncul dari belokan jalan desa. Setengah berlari. Setangkai daun pisang memayungi kepalanya — kurasa, dengan percuma. Ia tetap kuyup juga. Petir dan angina seperti mendorong-dorongnya untuk bergegas.

Badan kuyupnya dibungkukkan, sepertinya melindungi sesuatu di dadanya. Sosok itu mendekat. Ia tak menyusuri jalan desa yang menikung ke kiri. Tapi ke rumahku. Persis ke arahku. Ternyata Mang Maman, penjaga SD Inpresku.

“Silakan masuk Mang. Aduh. Hujan besar begini kok memaksakan diri datang ke sini.”

“Saya diminta Pak Dudung mengantar kiriman untuk Pak Sobar. Katanya penting. Dari Pak Bupati. Ada juga suratnya.”

Kubiarkan Kang Maman berdiri di pintu. Badannya kuyup. Seperti kerupuk tercelup kuah sayur. Kuambil kardus itu. Kubuka suratnya. Benar. Dari Pak Bupati. Pendek saja. Dari atas kertas, kata-kata berat itu berpindah ke kepalaku. Wujud kepedulian pemerintah. Usaha nyata membantu harkat guru honorer. Menaikkan citra, wibawa, dan martabat Guru Wiyata Bakti. Untuk masa depan dunia pendidikan yang lebih baik.

Maka, kubuka kardus itu. Isinya: sepasangsepatu.





Oleh : Eep Saefulloh Fatah

Santri Kesayangan

Jumat sore, setelah shalat ashar, Gus Coy bersama dua orang temannya, Gus Iding dan Gus Mao, jalan-jalan ke kampung sebelah untuk menikmati cimplung, makanan khas di sana yang terbuat dari ubi yang dimasukkan ke adonan gula aren. Sore itu memang tidak ada jadwal pengajian yang harus mereka ikuti. Dengan penuh antusias, mereka tampak asyik bercanda, seakan-akan lupa dengan semua deretan catatan hutang makan di warung Bu Kasmah.

Tak terasa, hari sudah semakin senja dan waktu maghrib pun tiba. Sementara mereka masih berada di tengah pematang sawah, terdengar suara Pak Bau mengumandangkan azan. “Wah alamat terlambat nich!” gumam Gus Coy, ”

“Waduh, mana harus melewati rumah Pak Kyai lagi!” seru Gus Iding kebingungan juga. Agaknya terbayang di mata mereka gunting Azhari yang siap men-tashrif rambut mereka menjadi botak tidak karuan.

Berbeda dengan kedua temannya, Gus Mao terlihat tenang-tenang aja. Jangan kan takut, gelisah pun tidak. Dia malah mengajak Gus Coy dan Gus Iding untuk jalan santai saja, tidak usah terburu-buru. Maklum, Gus Mao dikenal sebagai santri kesayangan Pak Kyai, sementara Gus Coy dan Gus Iding dikenal sebagai santri yang bengal dan nakal, tapi harus diakui kalau keduanya pintar, terutama Gus Coy. Yah dia masuk dalam aliran al-sharf umm al-ulum wa al-nahw abuha.

La ilha ill allah, demikian Pak Bau mengakhiri iqamahnya. Pertanda shalat maghrib berjama’ah sudah aka dimulai. Sementara ketiga gus itu baru sampai dibelakang rumah Pak Kyai dalam keadaan kotor karena belum mandi. Mereka terus berjalan mengendap, dan apa yang mereka takutkan pun terjadi. Tepat di depan rumah Pak Kyai, mereka bertemu dengan pengasuh Sirajuddin itu. ” Heh, dari mana saja kalian!” gertak Pak Kyai yang belum menyadar kalu Gus Mao ada diantara mereka.” Maaf Pak Kyai, kami baru pulang dari kampung sebelah,” kata Gus Mao. Sadar kalau Gus Mao, Pak Kyai berkata, ” Oh, kamu Mao, ya udah cepetan mandi dan shalat berjama’ah. Dan kalian berdua, Gus Iding dan Gus Coy, setelah shalat langsung lapor ke kantor.”

Terbayang kembali gunting azhari yang mencukur bebebrapa rambut Gus Coy dan Gus Iding. Sementara Gus Mao berjalan tenang menuju biliknya, Gus Coy dan Gus Iding tampak menggerutu. Saat itu, Gus Coy berkata, ” Dasar Isim Ghairu Munsharif!” Meski tidak faham dengan maksud perkataan Gus Coy, Gus Iding tidak memperdulikannya. Mereka bertiga pun berlalau menuju ke bilik untuk mandi dan shalat maghrib.

Selesai shalat, Gus Coy dan Gua Iding melaporkan kesalahan mereka ke bagian keamanan, Azhari. Agaknya, Pak Kyai telah memberitahukan terlebih dahulu perihal kesalahan mereka berdua kepada sang algojo. Azhari pun sudah mempersiapkan gunting untuk mencukur rambut mereka berdua.

Assalamu’alaikum, seru mereka berdua sambil membuka pintu kantor. Azhari menjawab,”Wa’alaikumussalam, silahkanm masuk! Kenapa kalian berdua tidak mengikuiti shalat maghrib berjama’ah?” tanya azhari. Gus Coy menjawab,”maaf, tadi kami habis dari kampung sebelah.” Azhari berkata, “Tapi kamu tahu kan bahwa tidak mengikuti shalat maghrib berjama’ah adalah melanggar peraturan dan harus mendapatkan hukuman?!”" tahu,,,,” jawab mereka kompak namun pasrah.

“Sini, aku potong lagi rambut kalian, ” seru Azhari. Mereka berdua pun terduduk lemas, menerima hukuman dipotong rambutnya. Ketika Gus Iding mengadu bahwa Gus Mao juga ikut bersama mereka, Azhari cuma berkata, ” Gus Mao menjadi urusan Pak Kyai.! Mendengar jawaban Azhari spontan Gus Coy bersungut, ” dasar Jama’ Muannats Tsalim.! Gus Iding pun dibuat hetran untuk yang kedua kalinya.

Proses hukuman selesai, mereka berdua keluar untuk mengikuti kegiatan pengajian sebagaimana biasanya di depan kantor mereka bertemu dengan Gus Mao yang sedang menertawakan mereka berdua.” Rambut kalian kenapa? Kok pada belang-belang begitu? Habis dibotakin ya?” ejek Gus Mao. Gus Iding berkata kesal,! Iya nich kamu kok gak dapat hukuman. Padahal ke kampung sebelah kan atas ajakan kamu juga?! ” Gus Mao berkata, ! kata siapa, barusan aku juga dibilangin sama Pak Kyai tapi mendingan sich, enggak dibotakin kayak kalian. He…he…! mendengar itu, Gus Coy kembali bersungut dasar fi’il mudhari mutta akhir.”

Dibikin bingung untuk yang ketiga kalinya, Gus Iding menanyakan perkataan Gus Coy yang tidak bisa dipahaminya.! Apa sich yang kalian maksud dengan Isim Ghair Munsharif, Jama’ Muannats Tsalim dan Fi’il Mudhari Mu’tal Akhir ? agak heran, Gus Coy balik bertanya, masa kamu tidak paham dengan ketiga-tiganya sich? Pernah belajar ilmu Nahwu tidak?” kesal dengan respon Gus Coy, Gus Iding berkata kalau pengertian dari ketiganya sich aku tahu yang aku enggak ngerti, hubungan ketiganya dengan kejadian yang kita alami dan juga dengan Gus Mao.”

He…he…he… kalau itu sich kamu harus nyantri dua tahun lagi,’ ejek Gus Coy. ” Ya udah, kalau kamu enggak mau ngasih tahu. Aku enggak maksa kok,! Seru Gus Iding sewot.! Eee.. gitu aja marah. Aku nyeut Gus Mao dengan Isim Ghair Munsharif, Jama’ Muannats Tsalim, dan Fi’il Mudhari Mu’tal Akhir, karena dia selalu memperoleh perlakuan khusus. Ibarat Isim Ghair Munsharif karena hanya dialah yang dibaca fathah meski dalam kedudukan majrur . Bak Jamak Muannats Tsalim karena hanya dialah yang dibaca karah meski dalam kedudukan Nashab. Dan ibarat Fi’il Mudhari Mu’tal Akhir karena hanya dialah yang alamat jazm-nya dengan membung huruf illat. Dalam hal ini Gus Mao memiliki ketiganya. He…he…he… paham!”

Bingung dengan penjelasan Gus Coy, Gus Iding mengangguk sambil berkata,!

Oh… begitu toh maksudnya.




Sumber : www.osissmapdacis.wordpress.com

Minggu, 13 September 2009

Kisah Di Balik Mimpi

ketika lelah kaki berpijak, ketika hati tak mampu menahan segala kesedihan, ku rebahkan tubuhku dalam alunan cinta nya yang begitu hangat mendekap. lama menanti mata ini terlelap, ku pandang biru nya langit bertabur bintang dan berhias langit, ku tatap wajahnya yang terukir dalam hatiku, yang tanpa terasa membawa ku kedalam sebuah impian dan angan-angan.

kulihat sekeliling ku yang kini kian gelap nan sepi, ku rasakan aroma yang tak pernah ku rasakan slama ini, ku pandang cahaya yang tak pernah redup dalam hatiku, aku bermimpi. ketika kain tebal yang membalut sekujur tubuhku tak mampu lagi menahan dinginnya malam ini, ku hanya mampu bersenandung tuk mengingat nya, serasa ia hadir tuk menemani ku malam ini. tanpa kusadari ia tlah membawa ku ke sebuah singgasana yang nan jauh di sana.

sambutan yang begitu hangat dari para bidadari dan malaikat, yang seakan memberi jalan bagi ku dan nya. belum lama aku merasakan indahnya sebuah kebahagiaan bersamanya, kini ia menghilang dan pergi entah kemana dan bersama siapa. lelehku kian menderu dan tak dapat terbelenggu, hatiku terbakar padam cemburu, fikiranku melayang bersama hilangnya angan dan harapan. aku tenggelam dalam celaan dan tertawaan sang bintang, jeritan hewan malam memekakan gendang telingaku. yang hingga akhirya mentari menyambutku dengan cemooh, celaan, serta hinaan yang membuatku termenung dan terus bertanya

“pantaskah aku bersanding bersamanya?”
“haruskah dia pergi meninggalkanku?”
“mampukah hati ini untuk terus menantinya?”.

lamunan ku mulai terganggu dengan ocehan parkit yang sedang bertengger di sebuah ranting “dasar pria bodoh, malang, dirimu bukan ikan yang haus akan kebahagiaan, dirimu juga bukan burung yang mampu terbang mengejar impian”.

kicauan yang terus terulang hingga datang sebuah keyakinan dari bisikan hembus angin bahwa aku bukan untuk dirinya, aku bukan air yang mampu menghilangkan dahaganya dengan cinta, aku bukan sesuap nasi yang mampu mengenyangkannya dengan kerinduan, dan aku bukan sebuah pakaian yang mampu bersamanya dalam kesetiaan.



Oleh : Noor M.A

Sang Guru

Sumber: Suara Karya

“Kamu ngomong apa Dik? Apa saya tidak salah dengar?” tanya Tardi kepada istrinya. Ia seperti tidak percaya dengan pernyataan yang baru saja dilontarkan Asfina. Betapa tidak, tanpa prolog terlebih dulu, tiba-tiba perempuan berhidung mancung itu mengatakan ingin berhenti kerja.

“Benar, Mas. Saya sungguh-sungguh.”

“Kenapa?”

Asfina diam.

“Apa kamu takut kita tidak segera punya momongan?” desak Tardi.

Lelaki itu bertanya demikian, lantaran Asfina belum memberikan tanda-tanda akan mempunyai keturunan. Padahal ia sudah sangat merindukan segera datangnya sang buah hati. Sementara itu, usia perkawinan mereka sudah tiga tahun lebih.

Memang. Tardi sempat beberapa kali menyatakan keinginannya untuk segera punya keturunan. Itulah sebabnya mereka tidak ber-KB. Ia pernah merasa khawatir jika seorang perempuan sibuk tidak akan segera bisa hamil. Dua orang teman kerja Tardi – Ririn dan Ika – yang sudah cukup lama menikah belum juga punya keturunan. Memang. Ika baru empat tahun menikah. Tetapi, Ririn yang sudah enam tahun menikah belum juga memberi tanda-tanda akan hamil.

Ririn adalah atasan Tardi di tempat kerjanya. Tak jarang perempuan ini pulang paling akhir. Sering bekerja lembur. Ya, jika Ririn menyuruh anak buahnya bekerja lembur – tidak bisa tidak – ia pun akan ikut bekerja lembur. Kesibukan inilah yang dipercaya teman-teman kantor Tardi sebagai penyebab Ririn tidak kunjung hamil. Tardi pernah menceritakan hal ini kepada Asfina.

“Ya, sangat mungkin sekali hal itu terjadi,” demikian komentar Asfina, tatkala Tardi menceritakan keadaan Ririn yang tak kunjung hamil, “Perempuan kalau terlalu sibuk bisa jadi akan mengalami hambatan untuk hamil. Masalahnya akan lain jika Bu Ririn ikut kabe. Tetapi, Mas bilang kalau Bu Ririn ….”

“Saya bingung ngomongnya, Mas,” ujar Asfina membuyarkan lamunan suaminya.

“Bingung bagaimana?” tanya Tardi, “Tetapi, apa kamu takut tidak segera bisa hamil kalau masih bekerja. Saya tidak akan …”

“Saya tidak berpikir sejauh itu Mas,” potong Asfina, “Siapa bilang orang yang bekerja dapat memengaruhi kehamilan. Lha wong, mBok-mbok tukang gendong di pasar tetap bisa hamil. Bahkan di antara mereka ada yang anaknya banyak.”

Tardi diam kembali. Mungkinkah Asfina sudah berubah pemikiran? tanyanya dalam batin. Atau barangkali ia tak ingin saya kecewa andaikata dirinya tak kunjung hamil.

“Masalahnya kalau kamu berhenti kerja, tidak mudah untuk mendapat pekerjaan lagi,” kata Tardi, setelah agak lama diam, “Cari kerja sekarang ini susah, Dik.”

Asfina bergeming. Ia masih belum tahu bagaimana menjelaskan permasalahan yang sedang dihadapi di tempat kerjanya kepada suami sendiri. Sebab khawatir akan dianggap membuka aib korp.

“Apa kamu diteror seseorang?”

Asfina diam.

Asfina pernah menceritakan ada seorang bapak yang tidak terima karena anaknya dipulangkan. Gara-garanya anak itu menunggak iuran bulanan. Lelaki itu datang ke sekolah dengan membawa golok. Ia marah-marah di sana.

“Siapa yang telah menyuruh anak saya pulang? Siapa yang tidak mengizinkan Sani mengikuti pelajaran?” kata lelaki itu setengah berteriak, di depan pintu ruang guru.

Para guru yang tengah duduk di sana tidak ada yang melayani lelaki itu. Para tenaga pendidik yang sedang beristirahat di ruangan itu tampak tegang. Waw-was. Takut. Ngeri. Mereka tidak ada yang mencoba mendekati lelaki yang tengah dikuasai rasa marah itu.

“Siapa yang menyuruh anak saya pulang?” ulangnya, setengah berteriak.

Lelaki itu datang ke sekolah bukan semata-mata disebabkan anaknya disuruh pulang. Melainkan sesungguhnya ia masih belum rela melepas tanah warisan yang telah dijadikan sekolah. Ia memang salah seorang pemilik sebagian lahan yang kini sudah menjadi kompleks perumahan, dan salah satunya dijadikan bangunan sekolah. Meskipun ia sudah menerima ganti rugi dari pihak pengembang. Tetapi, Marsam – demikian nama lelaki itu – seperti kebanyakan pemilik tanah lainnya yang sudah dijadikan kompleks perumahan, masih belum sepenuhnya rela melepas tanahnya menjadi kompleks perumahan.

Untungnya, tidak lama kemudian ada seorang tentara yang anaknya juga bersekolah di tempat itu datang. Aparat berpakaian seragam loreng-loreng itu turun tangan menghadapi Marsam.

“Atau ada anak brengsek yang bikin kamu….”

“Tidak ada, Mas,” kembali Asfina memotong kalimat yang belum usai disampaikan suaminya.

“Nah, kalau begitu sebetulnya tidak ada masalah. Kenapa kamu ingin berhenti?”

Asfina diam.

Tardi kembali diam. Ia benar-benar merasa bingung dengan permintaan istrinya yang dianggap tidak masuk akal. Aneh. Janggal. Betapa tidak, di saat orang susah mendapatkan pekerjaan Asfina justru ingin berhenti kerja.

“Apa karena pendapatan kamu tidak sesuai dengan yang kita harapkan?” Tardi kembali melontarkan pertanyaan, setelah cukup lama ia menunggu reaksi dari istrinya. Namun, Asfina tetap bergeming.

Pertanyaan ini dilontarkan Tardi, lantaran istrinya pernah melontarkan kekecewaannya dengan besarnya gaji yang ia terima setiap bulan. Memang. Gaji yang diterima Asfina setiap bulan nyaris pas-pasan. Apalagi jika Asfina, misalnya, terpaksa menggunakan jasa ojek ketika berangkat kerja. Tak heran bila Asfina pernah beberapa kali melontarkan kekecewaannya.

“Jika dihitung-hitung saya ini jadi seperti orang kerja bakti, Mas,” kata Asfina.

“Kalau memang begitu, ya lebih baik kamu tidak usah kerja saja, Dik,” komentar Tardi, setelah berkali-kali istrinya melontarkan kalimat yang sama, ketika itu.

“Toh kamu kerja atau tidak, penghasilan kamu tidak pernah bisa ditabung. Jadi, buat apa kerja kalau tidak ada hasilnya,” lanjut Tardi memancing reaksi istrinya.

“Ya, bukan tidak ada hasilnya Mas,” ujar Asfina.

“Tadi kamu bilang kerja bakti. Lalu kenapa ….”

“Maksud saya bukan itu hasilnya.”

“Lantas?”

“Saya merasa senang apabila ada murid yang berprestasi. Bangga bila apa yang saya ajarkan dapat bermanfaat bagi mereka. Jadi, bukan materi yang saya peroleh Mas. Melainkan kepuasan batin.”

Tardi menganggukkan kepalanya beberapa kali. Tardi merasa aneh lantaran di satu sisi istrinya mengeluh tetapi di sisi lain ia memperoleh kepuasan batin. Padahal kepuasan batin tak bisa diukur dengan materi. Bahkan seringkali orang yang ingin mendapat kepuasan batin harus berkorban materi. Ketika ia masih bujangan, misalnya. Kegemaran Tardi memancing – tidak bisa tidak – memerlukan pengorbanan materi yang tidak sedikit. Namun, ia memperoleh kepuasan batin ketika kailnya dimakan ikan. Kepuasan ini dirasakan ketika ia menarik senar pancing. Bukan semata-mata banyaknya ikan yang berhasil ia peroleh. Sebab jika ia mendapat ikan acapkali hasilnya justru diberikan kepada tetangga.

Sementara itu, Asfina mendapat kepuasan batin dengan pekerjaan yang ditekuninya. Mendapat kepuasan batin tanpa harus mengeluarkan biaya. Tidak merasa sia-sia menuntut ilmu hingga perguruan tinggi. Lalu kenapa mesti mengatakan kerja bakti? Tardi membatin.

“Ada kebanggaan yang tidak bisa dijelaskan bila anak didik saya nanti ada yang jadi orang. Ya, misalnya di antara anak didik saya nanti ….”

“Saya ingin berhenti bukan karena gaji, Mas,” Asfina membuyarkan pikiran Tardi.

“Ya, bagus kalau kamu tidak mempersoalkan gaji. Toh, saya pernah bilang pekerjaan kamu itu mulia. Pekerjaan mendidik generasi penerus bangsa tak bisa dinilai dengan apa pun. Jadi, …”

“Kenyataannya tidak demikian, Mas,” potong Asfina.

“Maksudnya?”

“Saya merasa mendidik ketidakjujuran mereka.”

Tardi diam. Ia terkejut mendengar kalimat istrinya. Meskipun demikian ia tidak ingin menunjukkan rasa kaget itu di depan Asfina.

Selanjutnya Asfina menceritakan konflik yang terjadi dalam batinnya selama ini. Ya, lantaran setiap menjelang UN semua guru di sekolahnya – termasuk Asfina, tentunya – harus membantu murid-muridnya agar mereka lulus. Caranya dengan memberikan contekan kepada peserta UN. Jika tidak demikian, bisa dipastikan, yang lulus tidak sampai separuhnya. Apalagi standar kelulusan makin ditingkatkan. Padahal jumlah siswa yang lulus sangat memengaruhi penilaian terhadap pendidik di sekolah.

“Bukankah ini artinya guru mendidik anak menjadi manusia yang tidak jujur,” lanjut Asfina.

“Apa pengawas independen….”

“Pengawas independen juga manusia. Kalau mereka diajak damai dalam tanda kutip juga mau. Nonsense! Jika mereka benar-benar mengawasi pelaksanaan UN. Itu sebabnya saya selalu dihantui rasa bersalah, Mas.”

Pantas banyak orang tidak jujur. Rupa-rupanya mereka salah didik, pikir Tardi. Kalau begitu tak heran jika ada politisi tidak jujur dengan istrinya – melakukan perselingkuhan. Ada yang tidak jujur dengan negara dan bangsa, melakukan tindak korupsi. Ada yang tidak jujur dengan rakyat, mengingkari janji terhadap rakyat. Ada yang tidak jujur dengan keadilan yang harus ditegakkan, seperti yang dilakukan aparat …..

“Mas Tardi pasti tidak akan percaya kenyataan di lapangan tidak sama dengan teori para pejabat tinggi negara,” untuk ke sekian kalinya Asfina menghentikan pertanyaan yang bergejolak dalam batin Tardi.

Tardi masih tetap diam.

“Bagaimana pendapat Mas Tardi kalau saya berhenti?”

“Sudahlah nanti kita pikirkan lagi bagaimana baiknya. Sekarang kita tidur dulu. Sudah malam Dik,” kata Tardi. br

Lalu Tardi ke kamar tidur diikuti istrinya, setelah sebelumnya mematikan lampu yang sudah tak terpakai.

Di tempat tidur Tardi langsung merebahkan diri. Memejamkan mata. Namun, pikiran- nya masih dipenuhi setumpuk pertanyaan mengenai istrinya. Sebab ia tak pernah menduga Asfina masih punya idealisme ketika sudah banyak orang yang kehilangan nilai-nilai luhur ini. Istrinya menjadi guru sebuah sltp bukan karena agar tidak menganggur lantaran ia seorang sarjana. Asfina menjadi guru karena panggilan hati nurani. Andaikata semua guru seperti istri saya mungkinkah peserta UN yang lulus tidak akan sampai separuhnya? tanyanya dalam batin. Meskipun demikian Tardi tak ingin melontarkan pertanyaan ini. Entah sampai kapan Tardi tak bisa memejamkan mata. Yang jelas, ia baru benar-benar tertidur setelah seluruh tubuhnya terasa lemas




Oleh : Humam S. Chudori

PERSEMBAHAN TERAKHIR UNTUK BUNDA

Hari ini hari Sabtu, hari yang kubenci. Sore ini aku harus pergi ke sebuah gedung menyebalkan yang disebut sekolah musik. Mungkin bagi sebagian besar teman-temanku disana, tempat itu sungguh menyenangkan. Alat-alat musik akustik dimainkan dengan indah. Mereka bisa memilih sendiri alat musik apa yang ingin mereka pelajari.

Namun tidak bagiku. Aku benci musik, apa lagi musik klasik, yang terpaksa kudengarkan setiap Sabtu sore. Uh……….menjenuhkan!

“Eva…segeralah bersiap-siap, jam empat nanti kamu sekolah musik bukan?” Tegur Bunda dari balik pintu kamar yang sedikit terbuka.

“Iya Bunda….sebentar lagi aku berangkat!” Teriakku dari dalam kamar.

Yap, aku terpaksa menuruti kehendak Bunda agar aku belajar bermain biola di gedung menjengkelkan itu. Aku tau Bunda akan sangat kecewa padaku bila aku menolaknya. Aku masih cukup punya hati untuk itu. Bunda begitu teropsesi pada biola. Aku tak heran mengapa. Dulu bunda sangat menyukai biola. Bahkan, beliau sering pergi ke luar Negeri untuk mengikuti konser ataupun lomba memainkan biola. Namun impian Bunda pupus seketika karena harus kehilangan sebelah tangannya karena sebuah kecelakaan. Jadi Bunda melampiaskan semua impiannya padaku..

“Eva…….cepatlah nak, jangan sampai kau terlambat. Ini, biolamu sudah Bunda siapkan”

Aku tersadar dari lamunanku. Jarum jam menunjukkan pukul 15.50. Akupun berpamitan pada Bunda, dan melesat bersama sepeda kesayanganku.

Takdir mengantarku menjadi anak tunggal yang yatim membuat Bunda menaruh harapan besar padaku. Aku tak ingin menanggalkan keinginan Bunda, tapi ini bukan duniaku. Bagaimanapun aku harus mengatakan hal ini pada Bunda suatu saat nanti.
******

Siang itu, ketika aku baru pulang setelah bermain bola basket bersama teman-teman priaku, kudapati keadaan rumah begitu sepi. Lebih sepi dari biasanya.

“Dimana Bunda?” pikirku dalam hati.

Kutengok dapur, Bunda tak disana. Begitu juga di ruang baca, bekas ruang kerja ayah dulu. Bunda tak terlihat disana.
“ Bunda……Bunda……Eva pulang” teriakku. Namun tak ada jawaban.

Namun akhirnya kutemukan Bunda terbaring lemas diatas ranjangnya. Wajahnya pucat, dan tampaknya ia kesakitan. Aku duduk ditepi tempat tidur, dan bicara pada Bunda

“Bunda, Bunda kenapa? Apa Bunda sakit? Ayo Bun, Eva antar ke dokter”

“Bunda tidak apa-apa sayang, hanya sakit kepala biasa. Istirahat sebentar juga pasti sembuh, Bunda sudah biasa begini” kata Bunda tersenyum tipis.

Aku mengelus lembut kening Bunda. Ku sibakkan anak-anak rambut yang menjuntai di kening orang yang paling kusayang ini. Aku tak akan memaksanya. Karena aku tau betul sifat Bunda yang tidak suka dipaksa.

“Eva…”

“Iya Bunda”

“Belajarlah memainkan biola dengan sungguh-sungguh ya nak, jangan kecewakan Bunda”

Aku hanya tersenyum, tak berani mengiyakannya.

“Bunda sudah tua ya, kamupun sudah dewasa. Bunda ingin sekali melihat Eva sukses sebelum Bunda berpulang” kata Bunda lembut

“Bunda, jangan bicara yang tidak-tidak, Eva sayang Bunda”

“Bunda juga sayang sekali sama Eva…” jawab Bunda

Kata-kata Bunda barusan membuatku tersentak. Bagaimana aku bisa berprestasi bila aku tak bisa memainkan satu lagupun yang telah diajarkan? Akankah nanti Bunda kecewa padaku disaat-saat terakhirnya? Aku jadi merasa bersalah pada Bunda.

Di sampingku Bunda telah terlelap. Kupandangi wajahnya yang penuh kasih sayang. Garis-garis samar yang tertera di wajahnya menandakan kelelahan di usia tuanya. Rambutnyapun telah memutih. Semakin sayang aku pada Bunda.

Aku membelai pelan pipinya. Namun tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang kurang.

“Ya Allah, Bunda! Bangun Bunda!” teriakku panik

Aku baru menyadari, nafas Bunda tersendat-sendat. Segera aku mencari pertolongan dari para tetanggaku. Aku menangis dalam perjalanan menuju rumah sakit. Aku khawatir pada Bunda. Aku terus berdoa agar Bunda diberi kesempatan untuk tetap hidup.

Di rumah sakit, Dokter dan suster lalu lalang di depanku. Aku terus menerus berdoa. Aku tak bisa membendung airmataku. Semuanya terjadi begitu cepat.

Setelah lama menunggu, seorang Dokter menemuiku dan membawakan sebuah kabar

“Ibu anda berhasil kami selamatkan. Namun ada satu hal yang harus anda ketahui”

“Apa itu Dok?”

“Ibu anda menderita kanker otak stadium empat. Dan kami prediksikan, sisa hidupnya tinggal satu tahun lagi”

Aku tersentak mendengarnya. Benar-benar terpukul. Bunda yang begitu kusayang akan pergi dariku selamanya. Aku, seorang Eva yang orang-orang nilai tomboy ini menangis sehari penuh karena masalah ini. Entah apa yang akan kulakukan sepeninggalan Bunda nantinya.
*****

Setelah kejadian itu, aku selalu berusaha untuk membahagiakan Bunda. Aku tidak memberi tahu Bunda tentang sisa umurnya yang tak lama lagi. Namun agaknya Bunda sudah mempunyai firasat.

Sabtu sore yang biasanya kulalui dengan tak bersemangat, kini berubah. Ku coba untuk lebih serius belajar biola. Memahami lagunya, dan belajar menyukainya. Selain itu aku juga mencoba untuk mengikuti seleksi dalam pemilihan pemain konser atau pemilihan wakil sekolah dalam sebuah lomba. Masih terngiang di telingaku, kata-kata Bunda yang menginginkan aku sukses. Khususnya sukses sebagai pemain biola.

Beberapa bulan kemudian, aku berhasil mewujudkan impian Bunda. Aku berhasil menjuarai sebuah kontes musik klasik Nasional bersama biolaku. Bangga rasanya. Terlebih Bunda, aku dapat melihat kebahagiaan yang mendalam dalam airmatanya ketika aku pulang sebagai juara.

Kemenanganku ini pula yang mengantarku pergi keluar Negeri untuk bertanding di kancah dunia. Sungguh, baru kali ini aku merasakan senangnya mewujudkan impian Orangtua.

Tidak begitu lama setelah kepulanganku ke Tanah Air dengan gelar juara, keadaan Bunda semakin melemah. Bunda seakan sudah tidak kuat lagi menahan deritanya itu. Aku hanya bisa menemaninya di sisa-sisa waktunya.

“Eva…terimakasih sayang, kamu telah menjadi seperti apa yang Bunda harap. Bunda bangga sekali padamu” Bunda berkata lirih

Aku tersenyum. Kuraih tangan kanan Bunda yang masih berfungsi, dan ku dekap penuh kasih.

“Bila nanti Bunda tiada, janganlah kamu jadi anak pemurung. Hidupmu masih akan terus berjalan. Hidupilah dirimu sendiri, Eva. Eva anak yang mandiri, bukan?”

Aku mengangguk pelan. Miris rasanya mendengar suara Bunda yang bergetar.

“Hanya satu pesan Bunda. Jangan berhenti bermain biola, Eva”

“Iya Bunda, Eva janji. Tidak akan mengecewakan Bunda. Eva akan terus bermain biola” jawabku dengan suara serak, menahan airmata.

“Bunda percaya sama Eva…bolehkah Bunda mendengarkan sebuah lagu dari biolamu, nak? Sebagai lagu pertama dan terakhir yang Bunda dengar darimu.”

Aku mengangguk, lalu beranjak mengambil biolaku. Lantas, aku berdiri di dekat ranjang Bunda. Ku mainkan sebuah lagu kesayangan Bunda. Aku memainkan biolaku dengan penuh perasaan. Perasaan kasihku terhadap Bunda.

Bunda meneteskan airmata ketika mendengar permainanku. Beliau tersenyum manis, sebelum akhirnya menutup matanya saat lagu itu belum selesai kumainkan.

Aku menangis disamping jasad Bunda. Aku tidak bisa menutupi kesedihanku. Namun tenang rasanya melihat Bunda yang tersenyum sebelum meninggal. Semoga laguku dapat mengantar kepergiannya menuju surga. Itulah doaku saat itu.

Kini aku hidup berkecukupan. Berkat prestasi-prestasiku dulu, aku mendapat beasiswa sekolah tinggi seni di Jerman. Semua kebutuhanku ditanggung pemerintah. Di Jerman pula aku dipertemukan dengan pendamping hidupku.

Ku rencanakan untuk pulang ke Indonesia satu minggu lagi. Aku ingin menjenguk rumah peninggalan Bunda yang telah kusumbangkan sebagai perpustakaan sekolah seni yang telah menjunjung namaku. Aku juga ingin menengok makam Bunda yang tak jauh dari sana. Aku akan memainkan biolaku di depan makan Bunda. Agar Bunda bahagia melihatku sekarang yang datang bersama menantu dan cucunya.
*****


Sumber : www.bangfad.com

Sabtu, 12 September 2009

Benih-benih cinta di radioppidunia

(Sambungan dari Puasa di Menara Eureka)(www.radioppidunia.com)Musim panas telah tiba dengan membawa berbagai macam parade dan romantisme yang berbeda di belahan bumi bagian eropa. Den haag seakan berubah menjadi kanvas putih yang dilukis oleh almarhum Affandi dan penuh dengan warna-warni bunga tulip yang memberikan nuansa elegan bagi siapapun yang singgah ke pusat kota pemerintahan ratu Betrix ini. Mulai dari seniman hingga ilmuwan turun ke jalan untuk sekedar menikmati minuman dan makanan yang beragam di setiap penjuru kota. Pantai scheveningen mulai dipadati wisatawan lokal dan mancanegara, berbagai macam stall makanan tersedia di hamparan pasir putih yang nampak seperti berlian-berlian langka. Macam-macam festival digelar di pinggir-pinggir jalan. Tua-muda, pria-wanita, semua tumpah kejalan untuk sekedar menikmati hangatnya mentari yang memancar menyinari tembok-tembok tua musium abad pertengahan yang semakin memberikan aroma berbeda bagi para penikmat seni dan sejarah. Liburan 3 bulan kali ini tak ingin dilewatkan dilla begitu saja tanpa menjadi pengunjung setia musium Mauritshuis (Mauritshuis royal picture gallery) yang telah berdiri semenjak abad ke 17. Jarak antara tempat tinggal dan musium bukanlah halangan baginya untuk selalu mengunjungi musium yang penuh dengan koleksi-koleksi lukisan antik ini, paling tidak 3 kali dalam seminggu. Ber-ongkoskan otot-otot betis telah menjadi bagian hidup dilla yang telah terasah semenjak menempuh sekolah dasar di Sulawesi. Tak heran jika banyak cowo-cowo ganteng eropa dan asia tengah terpesona akan betisnya yang nampak seperti striker-striker andalan Manchester United yang sangat menjadi idola DJ ado yang kini tersesat di Inggris. Dari seberang sana suara seorang penyiar muda berbakat mulai mengisi ruang dengar wanita berkulit hitam manis ini melalui ipod model terbarunya yang hampir 24 jam menancap di telinganya, “halo sobatradioppidunia..., suara anak bangsa satu cinta, satu Indonesia...Para sobatradioppidunia ngga perlu khawatir dan beranjak kemana-mana... karena aga masih tetap setia menemani para sobatradioppidunia semua dalam 3 jam ke depan dengan.... tembang-tembang campur sari tentunya langsung dari New Zealand...”, yang langsung disambung dengan sebuah tembang alternatif rok campur sari yang bisa membuat jempol siapapun bergoyang sampai 100 kali. Dibawah terik matahari tapak-tapak kaki dilla semakin keras dan jelas menuju musium tua yang menyimpan banyak ratusan lukisan-lukisan unik dan juga antik. Di tengah hentakan-hentakan tumit yang manis, ringtone pun menjerit-jerit sebuah tanda satu pesan telah masuk: "Aku udah di depan musim Mauritshuis dill...tertanda BYAN".Dilla terperanjat dengan kehadiran byan yang tanpa angin tanpa petir tiba-tiba nongol di negeri kincir angin. Apa mungkin dia terbawa kincir angin korea waktu menanam gingseng di korea ? atau mungkin dia kesini ingin belajar kincir angin ? atau mungkin dia ingin bertemu meity ? atau mungkin ingin bertemu kekasih meity ? atau mungkin ingin bertemu indri ? atau mungkin ingin bertemu kekasih indri ? atau mugkin mau ketemu dilla? atau dia ingin memasarkan ginseng langsung dari korea untuk komunitas orang-orang indonesia di Belanda?, beribu pertanyaan melingkar-lingkar di kepada dilla seakan-akan tak ada habisnya.Dari kejauhan nampak seorang pria yang sudah basah kuyup karena keringat yang membalur seluruh tubuhnya mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tak lagi nampak potongan sebagai pria elegan dan eksekutif masa kini. Dilla semakin mendekat....semakin deg-degan...semakin gugup...semakin penasaran...semakin ingin tahu....wajah pria itu semakin asing...semakin tampak lesu...kehausan..kelaparan..wajahnya pucat pasi...semakin kasihan dilla melihatnya...Tapi dilla mengenali sebuah topi kumal yang dikenakanya dengan warna yang sudah semakin pudar, iya...dilla semakin kenal dengan topinya yang kucel, warnanya pudar, ada sedikit sobekan tepat di bagian depan yang menutupi dahinya. “Byannnnnnnnn....", teriak dilla sekencang-kencangnya hampir memutuskan urat leher dan menembus tembok-tembok gedung parlemen yang berada persis di sebelah musium Mauritshuis."Byan yang penyiar di radioppidunia itu kan...? yang suka ngunyah gingseng kalo lagi siaran...?", tanya dilla untuk menkonfirmasi dan masih tidak percaya kalo byan benar-benar ada di Belanda."Iya betul dill...", jawab byan dengan lesu karena kehausan.Tanpa pikir panjang dilla yang sangat kasihan pada byan langsung membawanya ke Museum café De Braziliaan, sebuah kafe di dalam musium yang penuh dengan nuansa seni klasik abad ke 18 ditambah dengan khas kopi brazil yang membuat siapapun ingin sekali menengguknya. Byan nampak takjub dengan design interior yang dibuat di dalam kafe sederhana ini tapi memberikan nuansa yang berbeda yang seakan bisa membuat orang yang sedang minum ginseng serasa sedang minum ice cream. Tak lama kemudian, meity dan indri juga sampai di Museum café De Braziliaan langsung dari amsterdam. Wajah dua orang ABG ini pun nampak berseri-seri seperti permukan danau Hofvijver yang memantulkan cahaya mentari yang jatuh ke atas air. Kehadiran tiga bidadari cantik ini pun membuat jiwa byan sedikit tenang bak danau Hofvijver yang memberikan kedamaian dipagi hari bagi siapapun yang datang untuk melihatnya."Aku suka bangunan disini, terlebih lukisan-lukisanya", mata byan kembali menggerayangi setiap sudut kafe dan musium."Oh iya...karena disini bukan hanya sekedar lukisan...tapi lukisan yang mengandung makna-makna kehidupan...karena lukisan adalah sebuah refleksi dari situasi lingkungan sosial pada saat sang pelukis menorehkan kuasnya di atas kanvas", balas dilla yang mulai menjelaskan makna-makna filosofis sebuah lukisan.Gelas-gelas bening tertata rapi diseluruh etalase-etalase kafe. Para waitress berambut pirang tidak bosan-bosannya melemparkan senyum gratis kepada semua pengunjung musium. Byan semakin terheran-heran melihat makhluk cantik yang ada di negeri kanal ini. Byan merasa jengkel kenapa wanita-wanita cantik bagai boneka barbie itu tak melempar senyum padanya bahkan hanya membelakanginnya saja. Nasib punya muka asia...Byan takjub...fantasinya melayang-malayang...karena di korea yang ada hanya wanita-wanita asia yang kalau melotot seperti orang normal yang sedang melihat."Byan kamu kok bisa nyampe sini sih...???", tanya meity yang tiba-tiba memecah lamunan byan yang sudah terlalu jauh menerawang bersama boneka "barbie" nya."Aku kesini mau ketemu dengan meita.....", jawab byan."Meita apa meity....?", goda indri sambil coba meyakinkan jangan-jangan byan salah sebut nama karena grogi di depan meity"Meit...meit...meit..a deh kayaknya", jawab byan sedikit ragu-ragu."Ah yang bener nih...."Y" apa "A" ?, tanya dilla yang coba meyakinkan lagi."Atau mungkin dua-duanya, jadi "ya" mau yang "y" ", sambung indri sambil melirik ke arah meity dengan wajah yang mulai memerah dan tak berani menatap byan seakan seperti wanita yang malu-malu untuk minta dilamar pake satu sisir pisang ambon dan satu buah gedebong pisang."Guys...aku mau tanya sama kalian, mungkin ngga sih kalo dua orang manusia yang belum pernah ketemu tetapi mereka bisa saling suka sama suka....?", tanya byan pada tiga bidadari kahyangan yang baru jatuh dari langit."Maksud looooohhh....... ????", serentak mereka bertiga kompak."Iya...mungkin ngga sih, akan ada perasaan dan getaran yang berbeda jika dua orang manusia, cowo dan cewe, yang hanya selalu berhubungan lewat skype atau YM, tapi mereka bisa saling suka sama suka ?", jelas byan yang semakin berharap ada salah satu diantara mereka menjawab pertanyaanya."Hmhm..bisa ia...bisa ngga...?", jawab dilla yang hanya sedikit dan nampak suka 'menggantung' cowo-cowo."Maksud looooohhh....... ????", tanya byan yang semakin penasaran dan dihantui oleh bayang-bayang meita sebagai pendengar setia radioppidunia, terlebih-lebih ketika byan sedang siaran."Yah... itu tergantung usaha kamu", jawab dilla yang agak mulai spesifik kepada byan dan masih tetap menggantung.Indri mulai mengeluarkan ipod model terbarunya yang di loud speaker-kan agar bisa mendengarkan siaran di radioppidunia saat itu. Belum lagi sempat dilla menjawab dengan tuntas tiba-tiba suara seorang penyiar radioppidunia mulai masuk, “halo....sobatradioppidunia..itu dia tadi satu tembang campur sari yang yahud banget...yang udah di rekuest sama... meita dari belanda yang katanya di peruntukan untuk dj byan yang lagi menuju belanda”, suara dj aga mulai masuk dan menyetuh setiap sudut-sudut kafe dan musium. Mendengar nama meita seolah-olah membuat byan hilang ingatan dan tak tau apa yang harus diperbuatnya, tangannya gemetar, penuh keringat dingin, wajahnya berubah pucat pasi, kecepatan detak jantungnya berubah menjadi 45 km/menit, bola matanya hendak keluar, bibirnya mengering, lututnya bergoyang-goyang seperti orang kelelahan abis dangdutan dan persis seperti orang yang sedang mengalami Claustrophobia, penyakit psikologi yang ditandai dengan rasa takut yang tidak normal dialami seseorang ketika dalam ruangan tertutup.“Sobatradioppidunia...terkadang mungkin kita pernah bingung yah dengan perasaan kita sendiri ...terlebih dengan perasaan cinta yang timbul dengan seseorang yang kita ngga tau banyak siapa orang itu...dan bahkan ngga pernah ketemu dan melihat wajahnya “, sambung dj aga dari seberang sana masih tetap setia menemani para pendengar radioppidunia.“Kalo menurut kamu gimana sih nest......apa kamu percaya dengan perasaan kamu sendiri nih...kalo tiba-tiba kamu punya getaran yang berbeda dengan orang yang kamu tuh ngga pernah tau dan ketemu...atau bahkan belum pernah melihat sosoknya lewat webcam atau facebook”, tanya dj aga yang lagi siaran antar benua dengan dj Inest.“Kalo menurut aku sih...sebagai seorang wanita normal yang juga ingin dibelai para pria nih...mungkin aku bingung juga sih yah...apalagi kalo aku belum tau siapa sih tuh orangya...karena aku ngga mau beli beruang dalam karung”, suara dj inest yang langsung mengudara dari jerman dan menembus puing-puing tembok berlin.“Emangnya kenapa bisa gitu nest...?” tanya dj hilmi yang selalu ngaku-ngaku mirip dengan dj inest supaya dianggap sebagai adik angkatnya.“Gini lo hilmi adekku sayang....wanita itu memang selalu bilang ngga suka sama cowo gombal...tapi kalo giliran digombalin mereka sebenarnya suka banget...dan makanya ngga aneh...kalo banyak wanita-wanita cantik di dunia ini yang termakan oleh kata-kata manis laki-laki seperti kamu itu lo mi...", yang disambut gelak tawa para dj yang lagi siaran di studio dan pendengar radioppidunia lainya."Eitss...tapi jangan salah, bukan berarti bahwa perempuan itu ngga punya pendirian...dan hanyut begitu saja dengan janji-janji manis pria-pria hidung belang", dj inest kembali menambahkan, membela harkat dan martabat kaum wanita yang tentunya selalu disimak oleh Beben, seorang sobatradioppidunia yang tergila-gila dengan dj inest.“Oh...gituh yah.....memangnya apa sih bukti kalau perempuan itu punya pendirian ?”, suara dj jaya yang tiba-tiba menyelinap langsung dari taiwan menuju berlin.“Bukti pendirian dan kesetiaan seorang wanita akan nampak jika ia telah menemukan sesuatu dalam dirinya yang telah terpatri di seluruh rongga hati dan membelenggu hingga ke urat nadi", dj inest semakin membuat beben tergila-gila tidak bisa tidur sampai malam jumat kliwon depan."Memangnya apa "sesuatu" itu nest ....? sobatradioppidunia semua pastinya juga mau tau dong..., apalagi yang masih pada jomblo", pinta dj hilmi yang paling ahli membentuk "visi" menggaet wanita walaupun belum ada "aksi" nya sekaligus diamini oleh dj jaya sebagai pemerhati wanita-wanita keturunan tiong hoa. "Wanita perlu kepastian...itu saja...", jawabnya singkat, padat, dan membuat beben semakin menjadi-jadi untuk menempelkan kupingnya ke transistor radio karena makin tergila-gila dengan dj cantik berdarah minang ini.Kini byan, dilla, meity, dan indri tepat memasuki ruangan bagian selatan musium dan lebih tepatnya di staircase gallery yang penuh dengan berbagai lukisan-lukisan mahal yang tak ternilai harganya dan memiliki harga yang sangat membumbung tinggi hingga langit ke tujuh. Walaupun dilla harus menjual 2 ton ikan pari dari taman laut bunaken dan 362 ekor kambing buntingnya di sulawesi, indri harus menjual 1 ton gula jawa dan 3.6 ton asam jawanya, dan meity 10 ton peuyeum bandungnya....penggabungan hasil penjualan mereka tetap saja tidak akan mampu membeli lukisan-lukisan yang terpampang manis dan magis di dalam musium tua itu....nasib!!!Lukisan-lukisan tampak menawan dan indah tersusun rapih memberikan nilai-nilai seni yang sangat menyihir. Ubin kayu tampak mengkilat bersih dan memantulkan cahaya pagi yang masuk menerobos melalui jendela yang sedikit terhalang oleh gorden dan menyentuh sudut-sudut bingkai lukisan di dalam staircase gallery. Dinding yang dipoles dengan cat berwarna merah tua dipenuhi dengan karya-karya Johannes Vemmer, Paulus poter, Rembrandt van rijh yang seolah-olah membawa mereka berdialog dengan para pelukis terkenal abad ke 17 hingga 18. “Coba kamu perhatikan itu byan...lukisan-lukisanya keren banget yah...dilla suka banget deh...dan yang paling dilla suka adalah lukisan dengan judul “view on delft” ”, jiwa-jiwa seni dilla kembali muncul melalui suaranya yang halus hendak melunturkan warna-warna yang tergores di atas kanvas karena tak kuasa menahan halusnya getaran suara yang menyentuh semua lukisan-lukisan di ruangan.“Ah mana !! ....biasa aja...lukisan tersebut tak lebih dari sebuah kota-kota yang sering aku jumpai di film-film”, sahut byan yang semakin tergila-gila dengan bayangan seorang wanita yang telah me request sebuah lagu untuknya tadi melalui radioppidunia. “Coba tenang byan....", sambut dilla yang ahli mengaplikasikan ilmu pengetahuan komunikasinya yang didapatkan semenjak kuliah di De Haagse Hogeschool. “Apanya yang harus tenang...?”suara byan semakin tinggi dan bayangan muka meita semakin menjadi-jadi membakar semua sel-sel dalam tubuhya sampai seolah-olah pankreas dan usus 12 jari byan tak berfungsi dengan seketika."Sudah habis semuanya uang beasiswa ku musim panas kali ini aku korbankan demi membeli tiket ke belanda, tapi akhirnya...sampai detik ini aku belum dapat melihat wajah meita", sambung byan yang mulai kehabisan akal untuk mencari meita di iringi dengan wajah iba dilla, meity dan indri. “Coba bayangkan sama kalian semua yah...nyawaku hampir melayang dalam perjalanan menuju kesini, pesawat yang aku naiki hampir kehabisan aftur yang menyebabkan pesawatku menjadi oleng dan tak tentu arahnya untuk beberapa menit...apalagi yang harus aku korbankan ? aku sudah tak tau lagi...aku ingin menyerah dan enyah dari dunia.....", pinta byan yang yang matanya mulai nampak berkaca-kaca dan juga diiringi tetesan air mata yang tak terasa mengalir dari ketiga wanita cantik yang mencoba untuk menenangkan byan.“Belum lagi waktu aku sampai di imigrasi...anjing-anjing keparat semuanya mengendusku....seolah-olah aku ini belum mandi satu abad”, tambah byan yang masih teringat jelas di benaknya betapa seram-nya anjing-anjing berwarna hitam sehitam guratan tinta di lukisan Van Gogh.“Byan......”, suara dilla yang serak-serak becek mencoba menenangkan, setenang laut yang tak pernah terusik oleh riak-riak ombak.“Memangnya apa yang membuat kamu merasa yakin dengan perasaan kamu kepada meita, sehingga kamu rela terbang dari seoul menuju den haag ?”, tanya dilla yang ingin tau dan sekaligus disimak oleh indri dan meity yang mulai kehabisan tisu untuk menyeka air mata.“Aku yakin dill..karena aku dan meita selalu chatting setiap kali aku abis siaran....dan kita juga sering sms-an kok tiap hari...tapi aku masih belum tau seperti apa wajahnya...karena belum pernah liat sama sekali”, jawaban byan yang merefleksikan sedikit keragu-raguan dalam benaknya."Kita terlalu sering menjadi korban, byan...", ungkap dilla."Maksud kamu apa sich dill ?....kalo ngomong yang jelas gitu lohhhh....", tanya byan sambil garuk-garuk kepalanya yang sedikit gatal akibat keringatnya telah mengering."Kita sering tidak sadar bahwa kita adalah korban dari pemikiran-pemikiran kita sendiri, sebuah pemikiran yang belum tentu ujung pangkalnya...kita sering gegabah dan terlalu cepat untuk mengambil kesimpulan akan hal-hal yang ada disekitar kita...karena kita selalu menginginkan semuanya dengan cepat tanpa mau menjalani sebuah proses", jawab dilla yang diamini dengan angguk-anggukan kepala meity dan indri."Jika sesuatu itu tercipta dengan instan, maka akan se instan itu pulalah sesuatu itu akan hilang dari genggaman kita", jawaban dilla semakin bijak yang membuat indri dan meity terheran-heran bahwa dilla punya pemikiran se bijak ibu memberikan asi kepada sang bayi."Contohnya..?", pinta byan yang mencoba untuk menghilangkan genggaman bayang-bayang wajah meita yang belum tentu benar dari benaknya."Kalau kamu menginginkan cinta dengan terburu-buru dan tak ingin menunggu, maka secepat itulah cinta itu akan memburu hati yang lain dan tak ingin menunggu walaupun hanya sedetik di lubuk hatimu", jawab dilla yang berubah menjadi romantis dan juga mulai teringat akan mantan kekasihnya yang sudah menjadi artis pamor dibawah asuhan Ram Punjabi.“Kepastian itu penting....", sambung dj inest yang kembali mengudara di ruang dengar sobatradioppidunia."Karena kita harus memilih....dan hidup adalah sebuah pilihan....memilih bukan berarti ingin menyakiti hati yang lain, tetapi memilih untuk memberi, berbagi, dan mengobati hati nurani yang sedang terperih", kata-kata sakral dj inest membuat gelas yang tengah dipegang beben terpelanting sekian meter karena takjub."Tapi bagaimana jika suatu saat kita telah berusaha sebaik mungkin untuk memilih...dan kemudian pilihan itu adalah bukan pilihan yang terbaik ?", tanya dj aga yang doyan dengan cewe-cewe lima tahun lebih tua dan sedang mencoba menentukan pilihannya."Kita tidak perlu menyesal atas apa yang kita pilih...karena apa yang kita pilih adalah hal yang terbaik dalam hidup... sesuatu yang tidak baik menurut kita, belum tentu tidak baik menurut yang menciptakan kita, begitu juga sebaliknya sesuatu yang baik menurut kita, belum tentu baik menurut yang menciptakan kita...karena kita hanya seorang hamba", disambut takjub dan haru oleh dj fachru,dj mela, dj early, dj fajri, dj meira, dj andrew, dj arthur, dj ipon, dj vira, dj renzy, dj icha, dj hadi dan puluhan dj lainya serta ratusan pendengar radioppidunia yang sedang mendengarkan siarang langsung antar benua ini. Tak lupa juga dj boy yang menggeleng-geleng kepalanya sendiri karena merasa terharu dan bangga punya dj cantik dan juga bijak dalam memandang kehidupan. Tepuk tangan yang meriah, langsung dari studio, juga terlontar sebagai tanda salut dari dj aga, dj hilmi, dan dj jaya yang tiba-tiba berganti haluan menjadi pengamat wanita-wanita keturunan minang setelah mendengar jawaban dj inest yang memukau dan penuh dengan nafas-nafas religi.Suasana air di danau Hofvijver sangat tenang memberikan kedamaian yang berbeda bagi musium Mauritshuis yang sudah berdiri ratusan tahun di atas danau buatan tersebut. Tepat disamping musium, gedung parlemen yang nampak tua tetap berdiri kokoh dengan cat berwarna kecoklat-coklatan yang menyimpan berjuta-juta kenangan tentang kebengisan bangsa belanda di masa silam. Galau hati byan sudah mulai reda setenang air di danau yang nampak dari jendela mungil di musium dan langsung menembus menuju jembatan yang membelah danau dipenuhi dengan pohon-pohon rindang yang makin nampak memberikan kesejukan.Patma kini harus beranjak meninggalkan kota melbourne, walaupun hanya sejenak tetapi memberikan jutaan warna dan makna yang tak akan pernah terlupakan sepanjang masa. Ia merasa semakin bingung akan perasaannya untuk memilih antara asyik dan hasbi yang selalu mengalir bersama-sama di setiap aliran darahnya yang terpancar ke seluruh tubuh dan terus terasa dalam setiap detik helaan nafas yang membuat patma untuk tetap bertahan. Menentukan pilihan adalah hal yang paling sulit dalam hidupnya untuk saat ini dan lebih sulit daripada turunan rumus-rumus einstein yang membuat nama patma fatoni melejit ke setiap seantero dunia. Asyik dan hasbi mengantar patma ke airport dan memberikan salam perpisahan untuk terakhir kalinya sebelum pesawat dengan kapasitas 1000 orang penumpang membawa wanita yang tengah dilanda gundah gulana ini menuju Moscow."Aku masih ada satu pertanyaan untuk kalian semua..iya satu pertanyaan saja...", pinta byan dengan nada yang semakin melankolis kepada dilla, meity, dan indri."Iya silahkan byan...kita semua disini akan dengerin kamu kok...dan bantu coba jawab pertanyaan kamu dengan sekuat tenaga yang kita punya...kamu jangan sedih yah byan..kita disini untuk kamu kok....", sambut meity sambil mengusap air mata byan yang menetes menggumpalkan debu-debu di lantai musium, disambut oleh indri yang memberikan rangkulan kehangatan, ditambah dengan genggaman tangan dilla yang memberikan kekuatan ke seluruh urat-urat byan yang telah kendor karena tidak dapat bertemu dengan meita sang wanita yang hanya ada dalam ilusi byan. Byan semakin tak percaya denga dirinya ketika tubuhnya dibalut oleh tiga anak cucu hawa yang membuat detak jantung byan semakin tak menentu dan seakan hendak copot dari rongga dada."Apakah aku harus menyesal atas apa yang telah aku pilih walaupun pada akhirnya pilihan tersebut tak sesuai dengan apa yang aku harapkan?", tanya byan untuk terakhir kalinya dan nampak keputus asaan-nya dari guratan-guratan wajahnya yang seolah-olah tak ada lagi secercah harapan dalam hidup.Ipod indri kini tergeletak di lantai musium karena terlupa sewaktu merangkul byan dengan sekuat-kuatnya dan masih tetap mengeluarkan suara-suara penyiar dj-dj funky radioppidunia. Tepat setelah pertanyaan byan, perhatian mereka semua kini benar-benar tertuju kepada sebuah speaker kecil yang berada di bagian belakang ipod untuk mendengarkan sabda-sabda dj inest yang semakin sakral dan menyihir bagi siapapun yang mendengar."Dalam hidup...kita harus memberikan usaha yang terbaik untuk mendapatkan hasil yang terbaik....dan memilih adalah bagian dari usaha yang terbaik...lebih baik kita memilih daripada tidak pernah memilih sama sekali. Karena jika kita mati diantara pilihan-pilihan yang tidak pernah kita pilih, maka kita telah memilih satu hal yang kita ingin selalu pilih agar tidak terpilih", kalimat-kalimat terakhir dj inest yang sekaligus menutup siaran antar benua radioppidunia.Byan menyeka sisa-sisa air mata yang masih tersisa di kelopak matanya. Menatap terik mentari yang jatuh diatas danau Hofvijver membuatnya semakin sadar akan ilusi-ilusinya yang tak pasti untuk dicari dan hanya akan terpantul kesana-kemari seperti cahaya mentari yang jatuh di atas air laut yang digulung oleh ombak-ombak yang tak menentu. Kata-kata dj inest meresap ke setiap lipatan-lipatan otaknya untuk tidak menyesali atas apa yang telah terjadi. Dengan sedikit tergopoh-gopoh, byan mendapatkan energi baru ketika dilla, meity, dan indri membantu untuk menopangnya untuk melihat masa depan yang cemerlang yang sudah menanti di ujung jalan. Langkah demi langkah mereka ayunkan dan membawa mereka untuk meninggalkan musium tua yang menjadi saksi bisu akan bayang-bayang ilusi seorang manusia. Langit cerah...hembusan angin menggelitik manja..terik matahari mulai sedikit membakar...secercah harapan untuk hidup kembali nampak ketika byan mulai terbakar oleh suara-suara yang bermakna di radioppidunia.Tetapi di bagian selatan dunia, langit berubah menjadi gumpalan-gumpalan awan hitam di atas kota melbourne, ribuan galon air siap ditumpahkan dari awan mendung yang sudah tak tahan menahan air hujan yang siap membasahi bumi. Rintik-rintik hujan kini mulai menyetuh jendela-jendela pesawat yang siap terbang menuju Rusia. Suasana kelabu menyelimuti kalbu yang seolah enggan untuk beranjak dari melbourne dan ingin kembali walaupun hanya sejenak. Asyik dan hasbi kini sudah tak dapat lagi melihat patma yang sudah masuk ke dalam pesawat, tapi mereka tak henti-hentinya melambai-lambaikan tangan ke arah pesawat patma dimana ia dapat melihat sosok mereka dengan jelas. Karena hati kecil mereka tetap berharap akan sebuah pilihan...pilihan yang akan mati tanpa pernah terpilih. Patma hanya bisa menatap mereka melalui jendela kecil dari dalam pesawat. Tak terasa air mata menetes membasahi jilbab putih yang bersih setelah mendengar kata-kata terakhir dj inest melalui ipod pemberian dari asyik sebagai sebuah tanda mata yang menyimpan beribu luka dan nostalgia. Roda pesawat mulai bergerak perlahan demi perlahan dan waktu tetap berjalan, patma semakin laju terbang bebas meninggalkan kota melbourne menuju angkasa bebas. Percikan-percikan air mata telah membekas di bangku pesawat dan jilbab dan akan tetap menjadi saksi bisu perjalanan hati nurani anak cucu adam dan hawa. Hanya menangis yang patma bisa diatas sejuta penyesalan yang menusuk-nusuk sampai ke ulu hati dan tetap akan terpatri, "andai saja aku memilih...", bisik patma dalam hati nurani.


Oleh : Igum
Template Design by faris vio